Alhamdulillah, pada kesempatan kita kali ini, kita akan membahas perkataan-perkataan ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam yang empat, dan ulama-ulama setelah mereka, sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya. Sebelum kita memasuki pembahasan, ada baiknya kita mengetahui bahwa wajib atas kita untuk kembali berpedoman dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat dan para tabi’in. Alasannya? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merekomendasikan mereka berupa kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” [1]
Merekalah yang langsung mengambil ilmu dari Beliau. Ibarat menciduk air dari mata air murni yang belum terkotori sesuatupun. Mereka jugalah yang menyaksikan aplikasi ibadah yang Allah Ta’ala syari’atkan langsung dari utusan-Nya. Mereka adalah saksi sempurnyanya risalah. Merekalah yang paling baik pemahamannya. Jika mereka melakukan kesalahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan segera menegur mereka, sehingga mereka senantiasa berada di atas kebenaran. Itulah sebagian kecil dari beribu-ribu alasan yang mewajibkan kita memahami dalil dengan pemahaman mereka. Ketika sebagian kaum muslimin meninggalkan hal ini, maka tampaklah di tengah-tengah mereka perpecahan.
PERKATAAN PARA SAHABAT
- Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Beliau telah wafat. Dan barangsiapa yang menyembah Dzat yang berada di atas langit, sesungguhnya Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.” [2]
- ‘Umar bin al-Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Apakah kamu tahu siapa dia? Dia adalah seorang perempuan yang pengaduannya didengar oleh Allah yang berada di atas langit, dialah Khaulah. Allah Ta’ala telah berfirman tentangnya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.” [Al-Mujadilah: 1] [3]
- ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Berpikirlah tentang segala sesuatu! Jangan berpikir mengenai Dzat Allah! Antara langit dan Kursi-Nya terdapat tujuh ribu cahaya dan Allah berada di atas itu semua, Maha Suci Dia dan Maha Tinggi.” [4]
- ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Antara langit dan kursi berjarak lima ratus tahun. Seperti itu juga jarak antara kursi dan air. ‘Arsy berada di atas air dan Allah berada di atas ‘Arsy. Tidak tersembunyi darinya perbuatan kalian sedikitpun.” [5]
- Kisah ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dengan seorang pengembala
Dalam hadits Zaid bin Aslam, dia berkata:
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata, “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?”Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut.[6]
PERKATAAN IMAM YANG EMPAT [7]
- Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata dalam kitabnya Fiqhul Akbar:
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[8]
Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[9] berkata:
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [Thaha: 5]. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[10]
- Imam Malik rahimahullah berkata:
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[11]
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata:
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman: “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [Thaha: 5]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[12]
- Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[13]
- Imam Ahmad rahimahullah,
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[14]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
“Apa makna firman Allah, “Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” [Al Hadiid: 4] dan “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” [Al Mujadilah: 7]
Beliau pun menjawab:
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Yusuf bin Musa Al Ghadadiy berkata:
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[15]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya: “Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?”
Ibnul Mubarok menjawab: “Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.”
Imam Ahmad lantas mengatakan: “Begitu juga keyakinan kami.”[16]
PERKATAAN PARA TABI’IN, TABI’UT TABI’IN, DAN ULAMA SETELAHNYA [17]
- Ka’ab Al Ahbar rahimahullah mengutip perkataan Allah tentang keberadaan-Nya dalam Taurat:
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ”[18]
- Masruq rahimahullah berkata menceritakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakr), kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada di atas langit yang tujuh.”[19]
- Qotadah As-Sadusi rahimahullah mengatakan bahwa Bani Israil berkata:
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami bias tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.”[20]
- Sulaiman At Taimiy rahimahullah berkata:
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.”[21]
- Al-Auza’i rahimahullah berkata:
“Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.”[22]
Beliau juga berkata ketika ditanya tentang firman Allah, ‘’Kemudian Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya” (QS. Thaha: 5):
“Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.”[23]
- Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata ketika ditanya firman Allah, “Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4):
“yang dimaksud adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah)” [24]
- Abdullah bin Al-Mubarok rahimahullah berkata saat ditanya bagaimana mengenal Allah ‘Azza wa Jalla:
“Rabb kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.”
Kemudian ada yang menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.”[25]
Beliau juga pernah berkata mengenai Jahmiyah:
“Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.” [26]
- ‘Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata saat ditanya apa perkataan dari Ahlus Sunnah:
“Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat), mereka beriman bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.” [27]
- Ishaq bin Rohuwyah rahimahullah berkata:
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy’ [Thaha: 5]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[28]
Ini hanya sebagian kecil dari begitu banyak perkataan ulama mengenai keberadaan Allah Ta’ala di atas langit, baik dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan ulama setelahnya. Mungkinkah mereka bersepakat di atas kesalahan? Mungkinkah mereka bersatu di atas kesesatan? Mungkinkah kita menolak keyakinan ini hanya karena akal kita yang penuh kekurangan? Mungkinkah akal yang sehat dapat menolak apa yang Allah Ta’ala telah sifati tentang diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya?!
Mungkinkah kita menolak keyakinan yang secara gamblang dijelaskan dalam begitu banyak dalil, bahkan beratus-ratus dalil, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, lalu menetapkan keyakinan yang tidak berdasar kepada dalil yang kokoh, seperti Allah Ta’ala ada tanpa tempat, Allah ada di mana-mana, dan keyakinan-keyakinan bathil lainyya?!
Marilah, kita tinggalkan semua fanatik golongan, taklid buta, hawa nafsu, dan adat istiadat yang tidak berdasar. Marilah, kita kembalikan semua permasalahan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai pemahaman para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jangan jadikan mayoritas sebagai standar kebenaran. Karena kebenaran adalah apa yang datang dari Allah, meskipun hanya segelintir manusia yang meyakininya. Wallahu a’lam.
————————————-
Pagi berdebu, menjelang bergulirnya semester genap pertama
Kamis, 23 Shafar 1432 H / 27 Januari 2011 M
Asrama STDI Imam Syafi’i, Jember, Jawa Timur
Abu Ahnaf Roni Nuryusmansyah a-Falimbany
Kunjungi blog kami, setetes ilmu -www.ahnaf27.wordpress.com-
[1] [Hadits Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari (V/258-259, no: 2651), dan Muslim dalam Shahih-nya (IV/1962, no: 2533)]
[2] [Hadits Shahih, HR. Ad-Darimi dalam ar-Roddu ‘ala al-Marisi, Al-Bukhori dalam Tarikh-nya, Ibnu Qudamah dalam Itsbat Sifati al-‘Uluw, lihat al-‘Uluw dan al-‘Arba’in milik Ibnu Qudamah, al-‘Uluw milik adz-Dzahabi, Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah milik Ibnul Qoyyim]
[3] [Hadits Hasan, HR. al-Bukhori dalam Tarikh-nya, Ibnu Syibah dalam Akhbar al-Madinah, ad-Darimi dalam ar-Roddu ‘ala al-Jahmiyah, al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa ash-Shifat, Ibnu Qudamah dalam Itsbatu Sifati al-‘Uluw, lihat al-Istii’aab milik Ibnu Abdil Barr, al-‘Uluw milik adz-Dzahabi, at-Tafsir milik Ibnu Katsir, Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah milik Ibnul Qoyyim]
[4] [Hadits Hasan, HR. Ibnu Syibah dalam Kitab al-‘Arsy, al-Ashbahani dalam at-Tar’ib wa at-Tarhib, Abu asy-Syaikh dalam al-‘Azhomah, al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa ash-Shifat, dan Ibnu Qudamah dalam Itsbat Shifati al-‘Uluw, lihat Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah milik Ibnul Qoyyim, as-Sunah milik ‘Abdullah bin al-Imam Ahmad, Fathu al-Bari milik Ibnu Hajar]
[5] [Hadits Shahih, HR. ad-Darimi dalam ar-Roddu ‘ala al-Jahmiyah, Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, ath-Thabrani dalam al-Kabir, Abu asy-Syaikh dalam al-‘Azhomah, Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid, Ibnu Qudamah dalam Itsbatu Sifati al-‘Uluw, lihat al-‘Uluw milik adz-Dzahabi, as-Sunah milik ‘Abdullah bin al-Imam Ahmad]
[6] [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127]
[7] Penulis banyak mengambil faedah dari tulisan Ustadzuna Muhammad Abduh Tuasikal dalam artikelnya, “Dimanakah Allah”, dalam situs resminya rumaysho.com
[8] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.
[9] Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup berharga dalam Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda dengan berbagai anggapan yang telah masyhur di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 136)
[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.
[11] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.
[13] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165
[14] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.
[15] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
[16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
[17] Penulis banyak mengambil faedah dari tulisan Ustadzuna Muhammad Abduh Tuasikal dalam artikelnya, “Dimanakah Allah”, dalam situs resminya rumaysho.com
[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[19] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128.
[20] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131.
[21] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133.
[22] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah.
[23] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137
[24] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[25] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[26] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarok. Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[27] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188-189.
[28] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
Jazakumullooh
wa iyyakum..
Apa yang disampaikan oleh para salaf, para imam dan ulama Islam bahwa Allah di atas langit dan istiwa di atas arsy adalah perkataan Al Quran, maka wajib kita beriman kepadanya dan tidak tha’til kepada bahasanya.
Adapun yang para ulama yang mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat maka itu adalah tafsiran dan sebuah kenyataan secara Aqli maupun naqli. Sebab Allah ada sebelum ada arah dan tempat, Allah sendiri yang mengatakan demikian, bahwa dia yang awal dan yang akhir, sedangkan segala sesuatu itu baru dan akan musnah termasuk arah dan tempat, termasuk langit dan Arsy.
Maka ikutilah bahasa Al Qur an bahwa Allah di atas langit dan istiwa diatas arsy, namun pahamilah tafsirnya bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam.
Salam