Dingin. Begitu dingin untuk kulit orang Sumatera sepertiku. Tetesan hujan mengguyuri kota Semarang, mengetuk-ngetuk kaca jendela Bus yang berada tepat di sisi kananku. Senja mulai tenggelam, menanti malam yang telah bersiap-siap mengambil alih menyelimuti dunia. Seolah-olah pelari estafet terakhir dalam Pekan Olahraga Nasional yang tak sabar untuk menunjukkan kemampuan sprintnya di depan beribu-ribu penonton. Lampu-lampu berwarna-warni semakin menghiasi kota bersejarah itu. Semakin jauh, seperti kunang-kunang malam berbaris rapi membentuk pelangi. Manis sekali. Pemandangan yang indah semakin teduh karena siraman hujan. Semakin gelap, backdrop pun berganti menjadi medan petani mencari nafkah, tanah perkebunan.
Bangunan-bangunan mewah dan pabrik-pabrik besar yang berdiri kokoh dengan congkak di tepi jalan kini berevolusi menjadi area hijau perkebunan dan persawahan yang teduh. Petani bersibuk diri pulang ke papan. Lereng-lereng bukit pun semakin menjulang. Bunga-bunga cantik berkelopak jingga yang aku tak tahu apa namanya semakin memperindah sambutan malam hari itu. Langit pun kian menjelma menjadi gulita malam. Gelap. Seperti gelapnya langit waktu suhur tadi. Saat roda bus Akas yang kami tumpangi berhenti, tepat di Terminal Tirtonadi, Solo.
Penumpang-penumpang bersegera untuk turun. Para calo, supir bus, supir taxi, tukang ojek dan tukang becak dari berbagai penjuru berlomba mengerumuni kami. Seolah kami adalah sembako gratis di tempat pengungsian bencana alam. Aku mengabaikan mereka seraya berkata, “Tidak.. tidak.. terimakasih..”. Aku langsung menuju sisi kanan bus, di mana koper-koper kami disimpan di dalam box. Ustadz Sa’id, Kak Faqih dan istrinya pun langsung memesan taxi, bersiap menuju Ponpes Imam Bukhori. Kami pun berpisah. Aku dan kedua sahabatku, Dhika dan Hidayat bergegas menuju arah yang berlawanan dengan pintu gerbang terminal. Tidak lain dan tidak bukan kami menuju salah satu dari rumah-rumah Allah, masjid al-Musafir.
Dengan sempoyongan kami berjalan terseok-seok. Barang-barang yang kami bawa begitu banyak. Orang-orang yang mengerumuni kami tadi pun mengejar kami. Ada yang menawarkan kendaraan mereka, bertanya tempat tujuan kami, bahkan ada yang hendak merebut barang kami menuju kendaraan mereka. Aku mengabaikan mereka seraya berkata, “tidak.. tidak.. terimakasih..”. Tak jera. Mereka terus-menerus menginterogasi kami. Sungguh ironi, tuntutan hidup memang terkadang kejam. Pagi-pagi buta mereka sudah mati-matian berjuang demi sesuap nasi. Untuk bertahan hidup. Hidupnya, istrinya dan anak-anaknya.
Kami pun berjalan menuju masjid. Dengan merengkuh koper dan tas-tas besar. Kami mesti merogoh saku kami untuk melewati jalan tersebut, memberikan recehan kepada petugas. Kami melewati ruang besar di mana banyak kursi-kursi tersusun rapi. Semua mata tertuju kepada sebuah televisi berwarna yang sengaja disediakan di ruang tunggu itu. Mereka khusyu’ menyaksikan pertarungan dua negara dalam ajang paling bergengsi sejagat dunia. Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Turnamen besar ini baru saja bergulir beberapa hari ini. Kami acuh tak peduli.
Seperti kebanyakan masjid-masjid terminal lainnya, masjid al-Musafir ini juga ramai dipadati para musafir sebagai tempat pelampiasan kelelahan. Mereka berbaring-baring menikmati masa istirahat. Setengah jam lagi adzan subuh baru akan dikumandangkan. Kami pun menunggu seraya ikut bersandar mengusir rasa letih duduk sepuluh jam di dalam bus ekonomi. Masjid, di mana saja ia berada tetap memberikan ketenangan.
Selepas sholat Subuh, kami langsung menuju tujuan selanjutnya. P.O Putra Remaja. Jaraknya tidak terlalu jauh dari salah satu terminal kota Solo ini. Tapi sedekat apapun jaraknya, paling tidak kami mesti menyewa becak untuk mengangkut barang-barang yang tidak ringan ini menuju ke sana. Dua becak bersedia mengantarkan kami menuju tempat yang dimaksud. Sungguh amat dekat. Dalam hitungan beberapa menit saja, kami tiba di bangunan tak terawat itu. Kosong. Hanya ada tanah nan tak peduli. Bangunan berpintukan kaca yang usang. Hanya sebuah lampu gantung yang menyambut kami subuh itu.
Aku mengetuk pintu. Tak ada nafas berhembus. Aku coba berkali-kali. Tiba-tiba aku terhentak ketika melihat sosok remaja dengan wajah kusut bangkit dari mimpi-mimpinya. Melihat kami dengan tatapan sayup. Lalu membukakan pintu dengan malasnya. Seolah mengerti maksud kedatangan kami. Aku pikir bangun di pagi hari untuk membukakan pintu bagi orang asing dengan ransel dan koper besar bukanlah hal yang asing baginya.
Setelah sejenak berbicara, akhirnya kami memasukkan barang-barang kami ke dalam ruangan berantakan itu. Bertumpuk-tumpuk kardus tua tak terawat dan barang-barang berbajukan karung besar bertingkat-tingkat memberi kesan tak rapi. Kami telah memesan tiga tiket ke Palembang jauh-jauh hari. Ada banyak waktu luang sebelum bus Putra Remaja eksekutif tujuan Palembang itu berangkat.
Kami pun berjalan ke arah kanan. Menuju Terminal Tirtonadi lagi. Tentu saja, kami lapar dan ingin sarapan. Setelah memasuki sebuah rumah makan sederhana di dalam terminal itu, kami segera memesan tiga nasi rawon. Tidak dapat kugambarkan betapa lezatnya makanan yang disantap ketika safar. Di tengah terpaan letih berantai lapar, makan menjadi the best solution untuk menyambung semangat, melanjutkan safar. Masih 36 jam lagi menuju Palembang, Sobat.
Langkah-langkah kaki kami tertuju pada bangunan yang diapit kaki perempatan besar. Sebuah pos polisi lalu lintas. Bapak berseragam coklat itu pun mendekat, menangkap sinyal bahwa kami memerlukan bantuan. “Bagaimana rute jalan menuju Ponpes Imam Bukhori, Pak?” tanyaku lembut. Layaknya seorang pemandu wisata yang tengah berbicara kepada turis dari golongan the have, ia menjawab dengan santun sekali. Namun seribu sayang, ia berbicara dengan bahasa Jawa. Tak sepatah kata pun kami mengerti. Dengan anggun tangannya melambai, bak seorang mahasiswa muda yang sedang menyampaikan persentasi tesisnya. “Maaf Pak, kami orang Sumatera”, jawabku.
Dengan menahan sedikit malu, bapak sopan itu kembali mengulanginya. Dengan bahasa Indonesia tentunya. Yang kami tangkap amat sederhana, bus tiga perempat. Tidak lupa kami menghaturkan terima kasih kepada bapak penertib jalan sekaligus penilang motor tak berhelm itu.
Kami pun berjalan menyusuri jembatan di atas parit berukuran besar. Sungai yang kelihatan dangkal, namun menyisakan bekas bahwa sungai itu pernah membahana. Nantinya kami tahu bahwa itu adalah Bengawan Solo yang terkenal itu. Sejenak setelah terpukau dengan padatnya lalu lintas pagi itu, kami kembali terpesona dengan ringkikan kuda bergemericikan suara lonceng kecil. Itu sebuah delman, Sobat! Ingin rasanya aku mencoba menaikinya, bersanding dengan pak kusir, melihat mamalia pecinta balap itu dari dekat. Namun waktu tak memihak kami, karena kami mesti berpacu dengan mentari ufuk timur. Kami lekas menunggu bus aneh berlaqob tiga perempat itu. Membiarkan kuda indah itu berlalu.
Benar-benar sesuai titelnya, bus ini seperempat lebih kecil dari bus besar. Tidak keliru jika tiga perempatan dinisbatkan kepada bus yang sederhana ini. Aku duduk sendiri menepi kaca sebelah kanan. Melihat pemandangan menjauhi kota Solo, menuju perbatasannya dengan Karanganyar. Yang berada di dalam bus rata-rata ibu-ibu berwajah desa. Hawa sejuk memelukku. Suasana pedesaan semakin akrab. Mataku menatap rumah-rumah berhimpitan di pinggir jalan. Namun, pikiranku terbang jauh menuju utara, melayang-layang di atas laut Jawa. Menukik ke arah selatan, menyusuri jalan-jalan persawahan. Hingga tiba di sebuah kota, pinggiran kota. Melewati jalan-jalan sempit, memasuki lorong kecil. Tertuju pada sebuah rumah beratap hijau. Itulah rumahku..
Di luar kaca jendela berhiaskan embun itu, gunung-gunung yang menjulang di belakang rumah-rumah penduduk dan area persawahan menebarkan pesonanya. Sang surya pun mulai beranjak dari pembaringan, namun udara sejuk masih enggan berlari. Bias-bias mentari menyapa pagi, burung-burung kecil tak lelah berkicau, ayam pun tak bosan berkokok. Lalu-lalang penduduk desa juga mulai terlihat. Tak lama waktu berselang, bus tiga perempat itu menurunkan lajunya. “Pondok, pondok”, teriak si supir bus. Kami bertiga pun turun. Tepat di depan sebuah gerbang bertuliskan “PONDOK PESANTREN IMAM BUKHORI”.
Kami mulai berinisiatif masuk ke Ponpes pencetak majalah As-Sunnah itu. Lalu Dhika mewakili kami bertiga untuk mengisi buku tamu. Kami pun mulai masuk ke dalam. Menyusuri jalan di sebelah kiri, tepat di sisi halaman masjid besar. Sepi. Namun tampak jauh di sana segerombolan anak kecil bermain sepak bola, ada juga yang bermain badminton atau disebut juga tepak bulu oleh orang Malaysia. Mereka bermain bersama, tertawa riang. Tergaris kebahagiaan dalam wajah-wajah polos mereka. Jauh dari beban.
Di sebelah kanan, anak-anak yang berbadan lebih besar bermain voli. Aku jadi teringat masa SMA dahulu ketika aku bermain voli bersama teman-teman sekelasku ataupun teman-teman anggota bola voli. Karena aku sempat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler itu beberapa bulan. Silir semilir lembutnya angin berhembus. Kupalingkan tatapanku jauh ke depan, sebuah gunung kecil nan jauh memberi kesejukan dan keindahan bagi siapa yang mengunjungi ponpes ini. Namun, hal itu justru tak kami dapatkan dari dalam ponpes ini, dari santri ponpes ini. Ironis. Kami diabaikan..
Namun kami mengerti. Mereka masih berada di marhalah ibtida’iyyah dan mutawassithoh. Jadi, kepekaan sosial mereka masih sangat kurang. Kami hanya ingin istirahat di kamar tamu. Untuk bertanya kepada mereka, mereka terlalu sibuk, asyik bermain. Kami sungkan mengganggu mereka. Kami meneruskan langkah kami ke depan. Melihat-lihat bangunan di sekiling kami. Kami menghubungi Ustadz Sa’id Yai. Namun Beliau ternyata berada di rumahnya, berpuluh-puluh meter di luar ponpes. Kami akan bertemu zhuhur nanti. Kami lelah. Akhirnya setelah mendapati tidak ada jalan lagi, kami memutuskan untuk ke dalam masjid. Beristirahat di sana..
Senin, 7 Jumadal Ula / 11 April 2011 M
Asrama STDIIS Jember
Roni Nuryusmansyah al-Falimbany